Kepentingan Bersama Indonesia dan Australia (Indonesia's and Australia's Common Interests)
This article is more than 10 years old

Kepentingan Bersama Indonesia dan Australia (Indonesia's and Australia's Common Interests)

Lowy Institute Research Fellow Dr Dave McRae, in an opinion piece for Indonesian news portal VivaNews, argues that the spying row of the past week exposes the need for Indonesia and Australia to more clearly define their common interests, so that there are more concrete incentives to maintain good relations. The full text appears below; the original piece can be accessed here.

On this page

Executive Summary

Kepentingan Bersama Indonesia dan Australia

Dave McRae

VivaNews

25 November 2013

 

VIVAnews - Hubungan Indonesia-Australia kembali memanas seminggu terakhir akibat bocoran baru tentang penyadapan oleh lembaga intelijen Australia terhadap pucuk kepemimpinan Indonesia. Indonesia menarik duta besarnya, menghentikan berbagai bentuk kerjasama bilateral untuk sementara, dan menunutut penjelasan lengkap dari pemerintah Australia. Berbagai pihak juga menghujat negara Kanguru, mulai dari anggota DPR hingga kalangan pengamat serta para pendemo yang menyampaikan pesannya dengan melempari kedutaan dengan tomat busuk dan membakar bendera.
 
Di luar tanggapan ini juga terjadi balas-membalas pernyataan-pernyataan yang menghina. Di Australia, penasehat politik Mark Textor sempat membandingkan Menlu Marty Natalegawa dengan bintang porno Filipina lewat twitter misalnya, sedangkan di Indonesia sebuah kartun di sebuah harian menggambarkan Perdana Menteri Tony Abbott sedemikian terangsang mengintip Indonesia sehingga bermasturbasi.
 
Berbagai perkembangan ini membawa hubungan bilateral pada titik terendah setidaknya sejak 2006. Namun jika kita mencermati perselisihan ini, terlihat pula bahwa opini publik terbelah, baik di Australia maupun di Indonesia.
 
Di Australia, perdebatan utama menyangkut apakah Perdana Menteri Abbott seharusnya memberi isyarat bahwa Australia menganggap kasus ini sebagai masalah serius, misalnya dengan meminta maaf atau memerintahkan peninjauan atas praktek intelijen. Sebagian masyarakat menganggap langkah ini perlu untuk menjaga hubungan baik di Indonesia. Namun Abbott menolak, di antaranya dengan alasan bahwa sejak dulu pemerintah Australia tidak pernah mengomentari masalah intelijen. Sikap ini pun dipuji oleh sebagian masyarakat lain.
 
Sedangkan perdebatan publik di Indonesia terutama menyangkut apakah Australia merupakan negara penting bagi Indonesia. Pihak yang menganggap Australia tidak penting lebih vokal, dengan berbagai alasannya. Di antaranya mereka menganggap Australia bergantung pada Indonesia dalam penanganan pencari suaka dan pemberantasan terorisme, atau menilai berbagai faktor membuat dayar tawar Indonesia lebih tinggi, seperti besarnya ekonomi, jumlah penduduk dan letak geografis yang strategis.
 
Di lain pihak ada juga yang beranggapan bahwa Indonesia dan Australia memiliki kepentingan bersama. Sebut saja Menkumham Amir Syamsuddin yang mengingatkan bahwa pesan serius kepada Australia harus disertai pandangan realistis yang tetap memperhatikan kepentingan kedua negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri dalam mengkritik keras penyadapan ini, justru mengawali keterangan persnya dengan memaparkan kerjasama bilateral di berbagai bidang, yang menurutnya berlangsung baik dan terus berkembang.
 
Penulis sendiri menyetujui pandangan kedua ini, bahwa Australia dan Indonesia memiliki kepentingan bersama. Mengutamakan kepentingan bersama ini adalah pendekatan lebih produktif, daripada beradu kuat dengan menegaskan bahwa negara yang satu lebih bergantung pada negara lain. Namun demikian, yang terlihat jelas akibat perselisihan ini adalah bahwa baik Australia maupun Indonesia belum sungguh-sungguh berupaya merumuskan dan mengutarakan kepentingan bersama itu.
 
Perlunya perumusan kepentingan bersama yang lebih matang bahkan terlihat sebelum perselisihan ini muncul. Contohnya pada perdebatan antara kedua calon Menlu Australia yang digelar di Lowy Institute pada awal kampanye pemilu di Australia, baik Bob Carr maupun Julie Bishop tidak menjabarkan visi yang strategis bagi hubungan Australia dengan Indonesia.

Contoh lain, dalam catatan pertemuan Menlu Natalegawa dan Menlu Bishop di New York pun, yang dibocorkan kepada media, terlihat Menlu Natalegawa baru pada tahap mengusulkan agar kedua negara melakukan inventarisasi kepentingan yang dapat diupayakan bersama dalam forum multilateral.
 
Pada bidang pertahanan pula, kedua negara masih menjalin hubungan yang lebih luas, dengan membangun rasa saling percaya, misalnya melaui proses konsultasi dalam perumusan kertas putih serta digelarnya berbagai latihan bersama. Mereka belum pada tahap selanjutnya, yaitu merumuskan hal-hal apa yang dapat diupayakan bersama.
 
Selama kepentingan bersama ini belum dirumuskan secara spesifik, maka nilai positif hubungan bilateral akan tetap bersifat abstrak, bukan nyata. Dengan demikian, ketika kerjasama bilateral dihentikan sementara seperti sekarang, tidak sepenuhnya jelas apa kerugian yang ditimbulkan.

Sebaliknya, seandainya perselisihan terjadi pada saat Indonesia dan Australia sedang sama-sama mengupayakan sebuah tujuan yang lebih besar, kerugiannya akan lebih nyata. Tujuan tersebut, yang diinginkan oleh kedua negara, takkan tercapai. Dengan demikian, baik Australia maupun Indonesia akan memiliki insentif yang lebih besar agar menjaga hubungan baik.
 
Jika kedua negara gagal merumuskan kepentingan bersama sehingga insentif agar menjaga hubungan baik belum kuat, maka ketika perselisihan berikutnya terjadi, pola hujat-menghujat akan kembali terulang.

Terulangnya perselisihan yang bereskalasi seperti sekarang mungkin adalah hal yang baik bagi wartawan yang dapat mengisi korannya, serta bagi pengamat (seperti saya) yang dapat membuat lagi tulisan opini, belum lagi para politisi yang dapat membuat pernyataan berbau nasionalisme.

Namun jika Indonesia dan Australia sesungguhnya memiliki kepentingan bersama, terus-menerus terulangnya perselisihan seperti sekarang ini hanya akan merugikan kedua negara.
 
Dr Dave McRae adalah peneliti di Lowy Institute for International Policy, Sydney, Australia

Areas of expertise: Indonesian politics and security issues; Australia-Indonesia relations; legal and human rights issues; regional issues in Southeast Asia
Top