Dilema Hukuman Mati (Death penalty dilemma)
This article is more than 11 years old

Dilema Hukuman Mati (Death penalty dilemma)

Lowy Institute Research Fellow Dr Dave McRae, in an opinion piece for Indonesian daily Kompas, outlines three reasons why executions are not the solution to narcotics crime. He argues that Indonesia can seek effective measures against narcotics and abolish the death penalty. The full text appears below; the original piece appears here.

On this page

Executive Summary

Dilema Hukuman Mati

Dave McRae

Kompas

16 February 2013

P. 7

 

Tekanan agar pemerintah mengeksekusi mati terpidana narkoba memuncak sejak penangkapan Meirika Franola, bekas terpidana mati penerima grasi.

 

Franola dituduh ikut mengendalikan sindikat narkoba saat masih mendekam di penjara. Sejak kasus ini mencuat, sejumlah pihak menyerukan agar eksekusi terhadap pidana mati narkoba segera dijalankan kembali, setelah empat tahun terakhir ini berhenti. Kalaupun sikap menekan ini terdorong oleh kegelisahan terhadap bahaya narkoba, eksekusi mati bukan solusi.

 

Alasan pragmatis

 

Kenapa bukan solusi? Pertama, selain bertentangan dengan pandangan umum, tidak ada bukti meyakinkan bahwa pidanamati menimbulkan efek jera yang lebih besar daripada pidana penjara.

 

Ahli hukuman mati Zimring, Fagan, dan Johnson, misalnya, membandingkan angka pembunuhan di Singapura dan di Hongkong selama empat dasawarsa dari 1967-2007. Kecenderungannya saling menyerupai: sama- sama menyusut meskipun Singapura sangat giat mengeksekusi terpidana pada pertengahan 1990-an, sedangkan Hongkong terakhir mengeksekusi terpidana pada 1966. Pemerintah Singapura tak memublikasikan data terkait narkotika, Hongkong sebaliknya. Akibatnya, klaim pendukung hukuman mati di Singapura bahwa pidana mati menjerakan pelaku kejahatan narkotika tidak dapat diuji.

 

Di kawasan lain juga begitu. Dalam meresensi penelitian tentang efek jera di Amerika Serikat, pakar hukum pidana Michael Tonry menyimpulkan tidak ada bukti kredibel bahwa hukuman mati lebih efektif daripada penjara seumur hidup dalam menjerakan pelaku pembunuhan. (Pada praktiknya, Amerika Serikat menjatuhkan vonis mati terutama dalam kasus pembunuhan). Karya sebagian ekonom yang meyakini bahwa hukuman mati lebih mujarab, kata Michael Tonry, telah dibantah peneliti-peneliti lain.

 

Tegas tidak sama dengan efektif. Hukuman mati bukan solusi membuat sindikat narkoba jera.

 

Kedua, penegakan hukuman di Indonesia selama ini diragukan menembus jajaran tinggi sindikat narkoba. Cukup banyak di antara terpidana mati narkotika di Indonesia tertangkap tangan membawa narkoba. Secara logika, mereka besar kemungkinan adalah kurir atau bawahan sindikat,bukan pemegang kendali.

 

Bahkan, adanya sindikat narkotika lintas penjara, yang menurut Badan Narkotika Nasional dikendalikan oleh terpidana narkoba, juga menimbulkan tanda tanya. Mungkinkah sindikat ini dapat beroperasi di dalam penjara jika tidak ada yang menjadi pelindung?

 

Memvonis mati dan mengeksekusi terpidana yang terlibat dalam kasus ini tak akan menyelesaikan masalah. Penegakan hukum yang lebih berhasil menembus level atas sindikat serta menargetkan yang diduga melindunginya adalah langkah yang harus diambil, selain langkah membereskansistem penjara.

 

Kedua alasan di atas pada dasarnya alasan pragmatis. Eksekusi mati bukan solusi karena sangat diragukan dapat berkontribusi memberantas narkoba.

 

Alasan prinsip

 

Namun, ada juga alasan prinsip. Selama lebih kurang 18 bulan terakhir sejak eksekusi mati Ruyati binti Satubi di Arab Saudi, Pemerintah Indonesia secara giat mengadvokasi nasib warga negara Indonesia yang terancam eksekusi mati di luar negeri, apa pun jenis pidananya. Menurut data Kementerian Luar Negeri per Desember 2012, 110 warga negara Indonesia telah lepas dari ancaman eksekusi, lebih dari sepertiganya terjerat pasal narkotika.

 

Adalah hal yang tidak konsisten jika Indonesia menentang hukuman mati bagi seluruh warganya sendiri di negara lain, tetapi tetap menerapkan hukuman mati di dalam negeri. Advokasi luar negeri ini rupanya menjadi salah satu faktor yang mendorong beberapa langkah pemerintah yang dapat ditafsirkan sebagai langkah menuju abolisi.

 

Contohnya pemberian grasi kepada empat terpidana mati narkotika. Dalam memaparkan alasan pemberian grasi kepada media, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengutarakan keputusan ini wajar, mengingat Presiden juga meminta pengampunan dari negara lain. Contoh satu lagi adalah tetap berlanjutnya masa jeda eksekusi, yang telah berlangsung sejak 2008. Masa jeda ini menjadi yang terpanjang selama 30 tahun terakhir.

 

Contoh lain yang berarti, tetapi belum banyak diketahui masyarakat, pada akhir 2012 Pemerintah Indonesia memilih tidak bersikap (abstain) atas resolusi Majelis Umum PBB yang mengimbau adanya moratorium atas penerapan hukuman mati di seluruh dunia. Sebelumnya Indonesia selalu menentang resolusi serupa pada tahun 2007, 2008, dan 2010. Melihat langkah-langkah ini adalah tidak konsisten juga jika pemerintah melanjutkanrencana mengeksekusi terpidana mati tahun ini, sebagaimana diumumkan akhir 2012 dan awal 2013 oleh Jaksa Agung serta jajarannya.

 

Mungkin ada yang akan menjawab, hukuman mati masih didukung mayoritas masyarakat Indonesia sehingga tetap saja pantas dipertahankan. Namun, ini bukan alasan yang kuat. Dalam persoalan hak asasimanusia seperti penghapusan hukuman mati, pemerintah harus memimpin, bukan sekadar mengikuti opini mayoritas. Di kebanyakan negara yang menghapusnya, menurut para pakar komparatif, pidana mati dihapus berdasarkan kepemimpinanpolitik, pada saat masyarakat umum masih mendukungnya.

 

Menanggapi bahaya narkoba dan menyikapi hukuman mati adalah dua hal yang berbeda, yang tidak bisa dicampuradukkan. Indonesia dapat saja mencari langkah efektif untuk menanggulangi narkoba sekaligus menghapus hukuman mati.

 

 

Dave McRae, Research Fellow, Lowy Institute for International Policy, Sydney

 

Areas of expertise: Indonesian politics and security issues; Australia-Indonesia relations; legal and human rights issues; regional issues in Southeast Asia
Top